LEPAS KENDALI
“Bapa, saya
mau melanjutkan sekolah. Saya mau jadi hamba Tuhan. Lagipula saya tidak kenal
wanita itu. Pokoknya saya tidak setuju atas rencana ini” Demikianlah Pak Yohan
menirukan cara dia menolak permintaan ayahnya untuk menikah pada saat berumur
20 tahun. Dia menghela napas panjang, kemudian berbicara sangat pelan seperti
biasanya.
“Tapi, waktu itu... Ayah saya
bersikeras. Dia mengatakan, apa yang merasuki otakmu sehingga tidak mau menuruti
perkataan Ayah? Apakah Pendeta Lois sudah mencuci otakmu? Dengar... akulah yang
membuat engkau dan bukan Pendeta Lois. Saya tanya sekarang sama kamu. Siapa
ayahmu?”,
“Ayah”,
“Lalu siapa yang hendak kau
dengarkan? Ayah sudah terlanjur memberikan belis kepada keluarga Pak Roni.
Besok kamu harus datang ke sana dan bekerja membantu pekerjaan di sana.
Dengar... kalau kamu menuruti perkataan ayahmu ini, salah seorang dari
keturunanmu pasti bisa menjadi pendeta” Pak Yohan berhenti sebentar.
“Jadi, waktu itu Nak, Abdi... Bapak
sangat sedih. Hanya bapak satu-satunya yang tamat SMP di kampung pada tahun
60-an itu. Dan saya punya cita-cita untuk menjadi seorang pendeta. Karena pada
saat itu, nilai mata Pelajaran Agama Kristen-ku tinggi. Pendeta Lois juga sudah
mengeluarkan surat rekomendasi agar saya bisa masuk sebuah seminari teologi
waktu itu. Tetapi semuanya sia-sia begitu saja. Yah...” Pak Yohan yang sudah
kepala enam ini menyandarkan kepalanya di tembok sambil memandang ke langit.
Abdi menatap
wajah Pak Yohan lekat-lekat. Dari wajahnya tersirat keseriusan untuk
mendengarkan cerita masa lalu Pak Yohan. “Terus... apakah bapak nekat
melanjutkan sekolah ke seminari?”
Pak Yohan mengalihkan
pandangannya ke samping tanpa memandang wajah Abdi. “Yang namanya orang tua
harus dihormati, Nak. Demi menyenangkan orangtua saya menuruti keinginan Ayah.
Esoknya saya mendatangi keluarga yang dimaksud Ayah. Waktu saya sampai saya
memperkenalkan diri dan mengatakan maksud kedatangan saya bahwa saya disuruh
oleh Ayah untuk membantu pekerjaan di sini”
“Oh... anaknya Pak Semi? Baik
sudah. Neni, ini Yohan calon suamimu.” Kata Pak Roni.
“Datanglah seorang gadis dari
kamar. Saya salaman sama dia. Setelah itu, kita makan bersama. Mereka potong
kambing sebagai jamuannya. Kemudian ayahnya bilang, Nak Yohan menginap saja malam
ini. Tapi saya masih tidak mengizinkan kalian untuk tidur berdua sampai semua
ketentuan adat terpenuhi.”
“Tunggu dulu. Saat pertama kali
melihat calon istri bapak, apa yang bapak rasakan?” Adit menyela dengan rasa
ingin tahu bernada menggoda Pak Yohan.
“Ya, salaman saja. Bapak
menjalani semua ini, kan hanya untuk menyenangkan ayah. Bapak hanya pasrah
saja.”
Adit terkejut. Dia
bertanya-tanya, apakah tidak ada cinta? Tetapi, belum sempat bertanya Pak Yohan
melanjutkan ceritanya.
“Setelah hari itu, saya sering
datang sekedar membantu pekerjaan di rumah Neni. Namun sejak seluruh belis yang
diminta keluarga perempuan lunas, Neni resmi tinggal di rumah ayah saya. Dalam
hati sesungguhnya tidak pernah terbersit keinginan untuk menikah apalagi
cinta.”
“Bapak menikah tanpa cinta? Lalu,
kok bisa mendapatkan anak?” tanya Adit.
“Saya tahu orangtuanya Neni pasti
sudah menasihati Neni untuk tidak malu-malu terhadap Bapak. Jadi, waktu malam
pertama, Bapak acuh tak acuh. Tapi, Neni memberanikan diri untuk tidur dalam
selimut saya. Hari pertama, saya biasa-biasa saja. Hari kedua, ketiga lewat. Di
hari keempat dia masih terus begitu, yah... yang namanya manusia siapa yang
tahan. Akhirnya... ya sudah.” Senyum simpul sedikit menghiasi bibir Pak Yohan, begitu
juga Abdi. Tetapi kemudian Abdi
terbelalak. “Bapak melakukan itu setelah janji nikah di gereja? Waktu itu
keluarga Bapak sudah kristen kan?” Pak Yohan menatap Abdi dan kemudian
berbicara santai, “Belum. Keluarga Bapak sudah kristen. Tetapi, kami baru
pernikahan di gereja dua tahun kemudian ketika anak pertama kami sudah lahir.” Abdi
menghela napas dalam-dalam kemudian terdiam sama seperti Pak Yohan.
Abdi adalah
seorang mahasiswa sebuah seminari di Kota Malang yang sedang menjalani masa
Praktik Pelayanan Lapangan (PPL). Sedangkan Pak Yohan adalah seorang pensiunan
pegawai sebuah bandara di Sumba daerahnya sendiri. Pak Yohan sedang liburan di
gereja yang dipimpin oleh anak sulungnya, tempat Abdi PPL. Pak Yohan berencana
tinggal di gereja sekitar 5 hari saja. Namun, baik Abdi maupun Pak Yohan
menggunakan waktu-waktu yang ada untuk saling berbagi cerita. Terutama Abdi
yang juga ingin tahu banyak tentang daerah-daerah Kristen seperti Sumba.
Setelah beberapa saat lamanya,
Abdi kembali membuka pembicaraan, “Itu semua akibat jodoh-menjodohkan. Tapi...
bapak sendiri yang pilih istri kedua bapak kan?”,
Pak Yohan menatap Abdi dan
menjawab, “Tidak juga. Dia sendiri yang datang ke Bapak.”,
“Maksudnya?” Abdi terus bertanya.
“Setelah istri saya yang pertama
meninggal. Saya menitipkan keempat anak kami kepada para kerabat. Waktu itu
bapak sudah menjadi majelis di gereja.” Pak Yohan berhenti sebentar seolah
sedang mengumpulkan ingatan tentang istrinya yang kedua. “Di suatu hari Minggu,
Bapak terlambat bangun dan terlambat pula datang ke gereja karena kecapekan
setelah kerja lembur sehari sebelumnya. Bapak mau berangkat, eh... hujan
gerimis turun. Tiba-tiba datanglah si Lily, istri saya yang kedua itu. Dia
datang dengan alasan meminjam payung. Tapi bapak tidak punya payung. Akhirnya
kami terpaksa menunggu hujan reda sambil mengobrol tentang banyak hal. Dalam
obrolan kami sesekali saya menggodanya. Saya bilang, mengapa kamu tidak menikah
sampai sekarang. Bukankah kamu ini sudah guru PNS, 32 tahun, juga cantik. Mengapa
kamu tidak punya pacar?”,
“Ya, tidak ada yang mau toh Pak.”
Jawabnya.
“Ternyata hujan tidak kunjung
reda. Saya terus menggodanya hingga ke hal-hal yang pribadi. Saya tahu dia
senang, tapi dia berujar
“eh... kamu itu sudah gilakah?
Ngomong-ngomong kamu udah makan? Saya mulai lapar nih.”
“Saya belum makan dari tadi
malam” jawabku.
“Ya, udah. Kalau begitu biar saya
masak nasi untuk kita. Mana berasnya?”
“Itu di sudut sana.”
Abdi hanya terdiam mendengar
semua penuturan Pak Yohan. Dalam hati dia merasa sesuatu yang tidak beres
dengan diri Pak Yohan, namun dia segera mengusir pikiran itu untuk mendengar
cerita Pak Yohan selanjutnya.
“Jadi, hari itu kami
bercengkerama terus. Tapi, bapak terus-menerus menggodanya.
Lily hanya bilang, “eh... sudah
gilakah?”
Bapak bilang, “saya ini sudah
lama tidak mempunyai istri. Saya ini adalah pria yang memiliki kebutuhan tetapi
selama ini tidak pernah tersalurkan.”
“Ah... sudah habiskan saja makanannya,
katanya.”
Setelah kami selesai makan saya
bilang, “Ya sudah sekarang kamu pulang saja. Saya mau istirahat.”
Tapi, dia bilang, “Ya sudah. saya
mau istirahat saja di sini.” Dia masuk kamar saya kemudian berbaring di tempat
tidurku. Saya juga masuk. Eh tiba-tiba, dia membuka bajunya dan melepas BH-nya.
“Ini yang kamu minta?” Katanya.
Saya bilang, “Bukan. Saya minta
yang lainnya. Hahahaha... Ya, terjadi sudah”
“Sejak hari itu, saya sering
datang ke rumahnya dan sering disuguhi hal itu. Kami baru menikah lima bulan
kemudian secara gerejawi” Pak Yohan tersenyum senang menuturkan hal itu.
Tetapi, Abdi
malah menunduk. Matanya berkaca-kaca. Dia marah besar dalam hati. Bagaimana
mungkin seorang tidak mau belajar dari masa lalunya. Bagaimana mungkin seorang
majelis gereja berbuat demikian tanpa rasa bersalah. Dia mengumpulkan
keberanian yang didorong oleh kemarahan, tetapi yang terucap hanya kata
lemah-lembut yang bertanya, “Apa Bapak tidak merasa bersalah dengan perbuatan
Bapak tersebut?” Abdi menatap wajah Pak Yohan lekat-lekat seolah mencari
kejujuran di sana.
Pak Yohan balik bertanya, “Kenapa
merasa bersalah? Toh saya tidak meninggalkannya. Saya bertanggungjawab dan
mengambilnya menjadi istri saya.”
“Tapi itu dosa besar Pak” kata
Abdi bernada tegas tapi penuh kelembutan.
“Saya disebut berdosa jika saya
tidak mengambilnya menjadi istri, Nak Abdi. Lagipula, saya ini majelis jemaat
waktu itu.”
“Bukan begitu Pak. Status majelis
jemaat tidak otomatis mengizinkan kita berbuat dosa. Kitab Suci kita
mengajarkan bahwa hubungan seks itu hanya boleh dilakukan dalam pernikahan
kudus. Semua hubungan seks di luar pernikahan adalah dosa.”
“Jadi, bagaimana?” Pak Yohan
balik bertanya.
“Bapak harus mengakui dosa
tersebut dan meminta pengampunan kepada Tuhan. Dosa seperti itu harus
dibereskan”
Pak Yohan terdiam beberapa saat
dan menghela napas panjang, kemudian berkata, “Ya, itu sudah saya lakukan”
“Oh, sudah. Baiklah Pak. Puji
Tuhan kalau begitu. Semoga Tuhan memberkati keluarga Bapak.”
Pembicaraan terhenti sampai di
situ. Pak Yohan menatap jam dan mengajak Abdi untuk istirahat.
Di pembaringan
malam itu, Abdi tidak langsung terlelap. Hatinya berkecamuk dan dipenuhi banyak
pertanyaan. Apakah ini yang menjadi jawaban atas pergumulannya selama ini
tentang ke mana Tuhan hendak mengutusnya untuk melayani? Sebelum mengambil
keputusan, dia sampai pada suatu kesimpulan bahwa di daerah Pak Yohan menikah
tanpa cinta adalah sesuatu yang lumrah, kawin sebelum nikah adalah sesuatu yang
biasa, tidak tabu untuk menjadikannya sebagai sebuah cerita kepada anak-anak
karena semua ini telah menjadi budaya. Abdi merinding lagi mengingat hal itu
sebelum dia menarik selimut dan berusaha menutup mata.
6 Januari 2015