NYARIS
“Anakku sudah besar. Sebentar lagi dia akan
Praktik Pelayanan Lapangan, diwisuda dan menjadi hamba Tuhan yang melayani di
gereja. Masa ayahnya ini tidak menjadi orang baik dan teladan bagi orang lain.
Dia tentu akan malu dan tidak didengarkan oleh orang lain jika ayahnya sendiri
belum menjadi orang baik-baik. Lagipula, kabar baik yang sering dia beritakan
tentunya benar. Ah, saya ini ayah yang bodoh. Mengapa saya mengeraskan hati
untuk tidak menerimanya. Minggu ini saya harus mencari Tuhan seperti anakku di gereja
dan persekutuan doa dan mulai memperbaiki hidup saya ini.” Pak Adit terus
membatin dalam perjalanannya pulang dari kebun sore itu. Sesekali dia mengusap
keringat di dahinya dan juga matanya yang terus berkaca-kaca.
Beberapa
minggu terakhir Pak Adit terus memikirkan kehidupannya dan juga anak
perempuannya yang ada di kota Malang. Dulu dia tidak merestui kepergian anaknya
tersebut mengingat jarak yang sangat jauh antara Nias dengan Kota Malang. Belum
lagi ongkos keberangkatannya dan uang kuliahnya nanti. Namun, melihat tekad dan
kegigihannya, Pak Adit mulai mendukungnya. Apalagi dengan melihat hasilnya
sekarang ini. Dia sangat bangga dengan anak sulungnya ini karena sebentar lagi
dia akan menamatkan kuliahnya di sekolah teologi. Anaknya ini juga sudah mulai
memahami tentang Tuhan dan sering menceritakannya kepada ayahnya. Pak Adit tahu
maksud baik anaknya yakni agar ayahnya juga bisa menerima Yesus dan memiliki
kehidupan yang baik sama seperti dirinya. Sungguh semua itu membuat dada Pak
Adit menjadi sesak dan hanya terungkap dengan linangan air mata karena dia
sangat merindukannya dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
Setiba di
rumah sayup-sayup terdengar Nokia Tune
dari arah kamar Pak Adit. Pak Adit menurunkan pisang dari bahunya dan
meletakkannya di teras di depan rumah. Dia segera mempercepat langkahnya dan
buru-buru mengangkatnya.
“Hallo, Ya’ahowu...”
“Hallo, Pa.” Terdengar suara dari
seberang.
“Oh, Febi. Apa kabar Nak?”
“Puji Tuhan, saya baik-baik dan
sehat Pak. Bagaimana dengan kalian? Bapak pasti dari kebun ya? Bawa apa?”
“Kami juga baik-baik, Nak. Hanya
Mama-mu dan saya sering sakit batuk. Maklum kami sudah tua lho, Nak. Hari ini
bapak bawa pisang dari kebun. Seandainya kamu ada di sini kamu mungkin bisa
membakarnya untuk adik-adikmu” Suara Pak Adit mulai bergetar. Dia menelan ludah
untuk menahan kecamuk perasaannya.
“Kan ada Tina, Pak” Febi menyebut
adiknya yang nomor dua dari delapan bersaudara. “Oh. Iya. Besok saya akan ujian
skripsi, Pa. Mohon dukungan doa, ya.”
“Iya, Nak. Kamu pasti diberkati
oleh Tuhan. Bapak sudah mulai berdoa, semoga kamu cepat berhasil dan kelak jadi
anak yang berguna. Apalagi tanggungan Bapak masih banyak. Adik-adikmu juga
sudah mulai besar. Ingat janjimu sama Bapak, kelak kalau sudah berhasil, kamu
bertanggung jawab sama adik-adikmu”. Pak Adit mengatupkan bibirnya, tetapi air
matanya sudah jatuh tak tertahankan.
“Iyalah, Pa. Papa kenapa?”
“Oh...tidak, Nak. Sukses untuk
ujianmu, ya. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”
“Itu aja sih Pa. Salam buat mama dan adik-adikku, ya. Tuhan memberkati.
Ya’ahowu...”
“Ya’ahowu...” Pak Adit menaruh
handphone kembali pada tempatnya dan berteriak, “Arif, angkat pisang yang di
teras itu. Bilang sama Tina, biar dibakar satu atau dua untuk Papa dulu. Papa
sudah lapar...” Arif, anak Pak Adit yang ketiga datang mengangkat pisang itu
dan berlalu menuju dapur.
Ketika tiba
hari Minggu, Pak Adit cepat-cepat bangun. Dia segera mandi, cukuran, dan
sarapan. Bu Adit heran melihat perubahan suaminya tetapi dia tetap menyiapkan
segala sesuatunya seperti biasa.
“Pak, rokok dan tuakmu ada di
atas meja. Goloknya sudah saya sarungkan juga. Ada di gantungan.”
Pak Adit tersenyum, “Hari ini
bapak tidak ke kebun, Bu. Kita semua datang ke gereja, ya.”
“Ada apa, Pak” Bu Adit bertanya semakin heran
dan menyelidik.
“Mama tidak senang saya ke
gereja? Sebentar lagi saya ini jadi ayah dari seorang hamba Tuhan lho. Kita
harus menyesuaikan dong...” Jawab Pak Adit datar.
Seluruh anggota keluarga
terheran-heran dengan perubahan aktivitas tersebut. Tetapi mereka juga senang.
Sudah lama sekali mereka merindukan agar ayah mereka ini mau datang ke gereja
sama seperti orang lain. Tetapi selama ini dia selalu berdalih dan sibuk dengan
kebun-kebunnya.
Hari-hari
setelah hari Minggu itu menjadi hari yang bahagia bagi Pak Adit dan anggota
keluarganya. Pak Adit membuang segala rasa malu dan ragu-ragunya untuk ikut
persekutuan doa, ibadah di gereja dan ikut kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya. Kelihatan
sekali bahwa Pak Adit ingin memiliki hidup baru demi anaknya dan harapan-harapannya
tentang dia. Anggota keluarga lain juga merasakan perubahan itu. Pak Adit yang
dahulu keras kepada Bu Adit dan anak-anaknya sudah lebih lemah lembut.
Kebiasaannya merokok dan minum tuak juga ditinggalkannya meskipun dengan usaha
yang berat. Kehidupannya semakin bersemangat ketika dia mendengar bahwa Febi
lulus ujian skripsi dan akan segera diutus untuk Praktik Pelayanan Lapangan.
Dia sering menceritakan kepada orang lain bagaimana kasih Tuhan dalam
keluarganya terlebih-lebih dalam kehidupan anaknya Febi.
Beberapa
minggu berlalu, hingga di suatu sore, kerinduan Pak Adit kepada anaknya Febi
tak terbendung lagi. Dia sangat ingin mendengar celoteh anaknya tersebut.
Apalagi setelah beberapa minggu terakhir Febi tidak pernah menghubunginya lagi.
Dia menelpon beberapa kali, tetapi yang terdengar hanya “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan”.
Pak Adit menjadi penasaran. Tidak biasanya Febi menonaktifkan Hp-nya sore-sore
begitu karena mereka biasa ngobrol melalui Hp di sore hari. Tiba-tiba Hp-nya
berbunyi. Pak Adit segera mengangkatnya.
“Hallo, Ya’ahowu...”
“Ya’ahowu. Apakah ini dengan Pak
Adit?” suara laki-laki terdengar dari seberang.
“Iya, saya sendiri. Ini dengan
siapa?” jawab Pak Adit sambil mengernyitkan dahi.
“Saya Pak Arman. Pendeta yang
merekomendasikan Febi untuk masuk STT di Malang, Pak”
“Oh. Ada apa Pak?” jawab Pak Adit
penasaran
“Begini, Pak. Kita mendapatkan kabar
buruk ...”
Pak Arman terus berbicara
dan Pak Adit mendengarkannya dengan
seksama. Lama-lama tubuh Pak Adit terlihat gemetar, dia memegang dadanya,
kemudian menyandarkan diri di dinding rumahnya. Matanya berkunang-kunang dan
beberapa bulir bening keluar dari matanya sambil mengertakkan giginya. Hingga
HP-nya berbunyi “tuuuut....tut....tut...”, kekuatannya seolah hilang dan dia
rubuh. Arif yang melihatnya jatuh langsung berteriak kepada anggota keluarga
lain, lalu mereka mengangkat tubuhnya ke atas balai-balai dekat situ.
Sementara itu,
di STT tempat Febi kuliah sedang berlangsung acara pengutusan anak-anak yang
akan berangkat PPL. Tetapi, Febi tidak ada di antara anak-anak yang diutus
tersebut. Di akhir acara, dosen bidang kemahasiswaan memberi pengumuman.
“Kita semua, mahasiswa dan para
dosen sangat sedih pada hari ini karena salah satu dari kalian tidak bisa ikut
dalam pengutusan ini. Saudari kekasih kalian Febi terbukti telah melanggar
hukum ketujuh dan dinyatakan gagal dalam semua proses perkuliahan di STT ini.
...”
Hari Minggu
berikutnya, Pak Adit cepat-cepat bangun dan sarapan. Dengan berteriak dia
berkata, “Bu Adit, cepat...! Mana rokok dan tuakku?! Kau gantung di mana lagi
goloknya...”
CERPEN.Sabda, 26 November
2014_Sape/based on true story.
HE EHEH....keren brother, awal2nya sangat mengesan dan terharu.
BalasHapusTapi, bagian pragraf terakhir itu...lucu pisan hahahahhhhh...
"Mana golok...mana golok...!!!