Minggu, 01 Maret 2015

Cerpen: NYARIS

NYARIS

“Anakku sudah besar. Sebentar lagi dia akan Praktik Pelayanan Lapangan, diwisuda dan menjadi hamba Tuhan yang melayani di gereja. Masa ayahnya ini tidak menjadi orang baik dan teladan bagi orang lain. Dia tentu akan malu dan tidak didengarkan oleh orang lain jika ayahnya sendiri belum menjadi orang baik-baik. Lagipula, kabar baik yang sering dia beritakan tentunya benar. Ah, saya ini ayah yang bodoh. Mengapa saya mengeraskan hati untuk tidak menerimanya. Minggu ini saya harus mencari Tuhan seperti anakku di gereja dan persekutuan doa dan mulai memperbaiki hidup saya ini.” Pak Adit terus membatin dalam perjalanannya pulang dari kebun sore itu. Sesekali dia mengusap keringat di dahinya dan juga matanya yang terus berkaca-kaca.
Beberapa minggu terakhir Pak Adit terus memikirkan kehidupannya dan juga anak perempuannya yang ada di kota Malang. Dulu dia tidak merestui kepergian anaknya tersebut mengingat jarak yang sangat jauh antara Nias dengan Kota Malang. Belum lagi ongkos keberangkatannya dan uang kuliahnya nanti. Namun, melihat tekad dan kegigihannya, Pak Adit mulai mendukungnya. Apalagi dengan melihat hasilnya sekarang ini. Dia sangat bangga dengan anak sulungnya ini karena sebentar lagi dia akan menamatkan kuliahnya di sekolah teologi. Anaknya ini juga sudah mulai memahami tentang Tuhan dan sering menceritakannya kepada ayahnya. Pak Adit tahu maksud baik anaknya yakni agar ayahnya juga bisa menerima Yesus dan memiliki kehidupan yang baik sama seperti dirinya. Sungguh semua itu membuat dada Pak Adit menjadi sesak dan hanya terungkap dengan linangan air mata karena dia sangat merindukannya dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
Setiba di rumah sayup-sayup terdengar Nokia Tune dari arah kamar Pak Adit. Pak Adit menurunkan pisang dari bahunya dan meletakkannya di teras di depan rumah. Dia segera mempercepat langkahnya dan buru-buru mengangkatnya.
“Hallo, Ya’ahowu...”
“Hallo, Pa.” Terdengar suara dari seberang.
“Oh, Febi. Apa kabar Nak?”
“Puji Tuhan, saya baik-baik dan sehat Pak. Bagaimana dengan kalian? Bapak pasti dari kebun ya? Bawa apa?”
“Kami juga baik-baik, Nak. Hanya Mama-mu dan saya sering sakit batuk. Maklum kami sudah tua lho, Nak. Hari ini bapak bawa pisang dari kebun. Seandainya kamu ada di sini kamu mungkin bisa membakarnya untuk adik-adikmu” Suara Pak Adit mulai bergetar. Dia menelan ludah untuk menahan kecamuk perasaannya.
“Kan ada Tina, Pak” Febi menyebut adiknya yang nomor dua dari delapan bersaudara. “Oh. Iya. Besok saya akan ujian skripsi, Pa. Mohon dukungan doa, ya.”
“Iya, Nak. Kamu pasti diberkati oleh Tuhan. Bapak sudah mulai berdoa, semoga kamu cepat berhasil dan kelak jadi anak yang berguna. Apalagi tanggungan Bapak masih banyak. Adik-adikmu juga sudah mulai besar. Ingat janjimu sama Bapak, kelak kalau sudah berhasil, kamu bertanggung jawab sama adik-adikmu”. Pak Adit mengatupkan bibirnya, tetapi air matanya sudah jatuh tak tertahankan.
“Iyalah, Pa. Papa kenapa?”
“Oh...tidak, Nak. Sukses untuk ujianmu, ya. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”
“Itu aja sih Pa. Salam buat mama dan adik-adikku, ya. Tuhan memberkati. Ya’ahowu...”
“Ya’ahowu...” Pak Adit menaruh handphone kembali pada tempatnya dan berteriak, “Arif, angkat pisang yang di teras itu. Bilang sama Tina, biar dibakar satu atau dua untuk Papa dulu. Papa sudah lapar...” Arif, anak Pak Adit yang ketiga datang mengangkat pisang itu dan berlalu menuju dapur.
Ketika tiba hari Minggu, Pak Adit cepat-cepat bangun. Dia segera mandi, cukuran, dan sarapan. Bu Adit heran melihat perubahan suaminya tetapi dia tetap menyiapkan segala sesuatunya seperti biasa.
“Pak, rokok dan tuakmu ada di atas meja. Goloknya sudah saya sarungkan juga. Ada di gantungan.”
Pak Adit tersenyum, “Hari ini bapak tidak ke kebun, Bu. Kita semua datang ke gereja, ya.”
 “Ada apa, Pak” Bu Adit bertanya semakin heran dan menyelidik.
“Mama tidak senang saya ke gereja? Sebentar lagi saya ini jadi ayah dari seorang hamba Tuhan lho. Kita harus menyesuaikan dong...” Jawab Pak Adit datar.
Seluruh anggota keluarga terheran-heran dengan perubahan aktivitas tersebut. Tetapi mereka juga senang. Sudah lama sekali mereka merindukan agar ayah mereka ini mau datang ke gereja sama seperti orang lain. Tetapi selama ini dia selalu berdalih dan sibuk dengan kebun-kebunnya.
Hari-hari setelah hari Minggu itu menjadi hari yang bahagia bagi Pak Adit dan anggota keluarganya. Pak Adit membuang segala rasa malu dan ragu-ragunya untuk ikut persekutuan doa, ibadah di gereja dan ikut kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya. Kelihatan sekali bahwa Pak Adit ingin memiliki hidup baru demi anaknya dan harapan-harapannya tentang dia. Anggota keluarga lain juga merasakan perubahan itu. Pak Adit yang dahulu keras kepada Bu Adit dan anak-anaknya sudah lebih lemah lembut. Kebiasaannya merokok dan minum tuak juga ditinggalkannya meskipun dengan usaha yang berat. Kehidupannya semakin bersemangat ketika dia mendengar bahwa Febi lulus ujian skripsi dan akan segera diutus untuk Praktik Pelayanan Lapangan. Dia sering menceritakan kepada orang lain bagaimana kasih Tuhan dalam keluarganya terlebih-lebih dalam kehidupan anaknya Febi.
Beberapa minggu berlalu, hingga di suatu sore, kerinduan Pak Adit kepada anaknya Febi tak terbendung lagi. Dia sangat ingin mendengar celoteh anaknya tersebut. Apalagi setelah beberapa minggu terakhir Febi tidak pernah menghubunginya lagi. Dia menelpon beberapa kali, tetapi yang terdengar hanya “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan”. Pak Adit menjadi penasaran. Tidak biasanya Febi menonaktifkan Hp-nya sore-sore begitu karena mereka biasa ngobrol melalui Hp di sore hari. Tiba-tiba Hp-nya berbunyi. Pak Adit segera mengangkatnya.
“Hallo, Ya’ahowu...”
“Ya’ahowu. Apakah ini dengan Pak Adit?” suara laki-laki terdengar dari seberang.
“Iya, saya sendiri. Ini dengan siapa?” jawab Pak Adit sambil mengernyitkan dahi.
“Saya Pak Arman. Pendeta yang merekomendasikan Febi untuk masuk STT di Malang, Pak”
“Oh. Ada apa Pak?” jawab Pak Adit penasaran
“Begini, Pak. Kita mendapatkan kabar buruk ...”
Pak Arman terus berbicara dan  Pak Adit mendengarkannya dengan seksama. Lama-lama tubuh Pak Adit terlihat gemetar, dia memegang dadanya, kemudian menyandarkan diri di dinding rumahnya. Matanya berkunang-kunang dan beberapa bulir bening keluar dari matanya sambil mengertakkan giginya. Hingga HP-nya berbunyi “tuuuut....tut....tut...”, kekuatannya seolah hilang dan dia rubuh. Arif yang melihatnya jatuh langsung berteriak kepada anggota keluarga lain, lalu mereka mengangkat tubuhnya ke atas balai-balai dekat situ.
Sementara itu, di STT tempat Febi kuliah sedang berlangsung acara pengutusan anak-anak yang akan berangkat PPL. Tetapi, Febi tidak ada di antara anak-anak yang diutus tersebut. Di akhir acara, dosen bidang kemahasiswaan memberi pengumuman.
“Kita semua, mahasiswa dan para dosen sangat sedih pada hari ini karena salah satu dari kalian tidak bisa ikut dalam pengutusan ini. Saudari kekasih kalian Febi terbukti telah melanggar hukum ketujuh dan dinyatakan gagal dalam semua proses perkuliahan di STT ini. ...”
Hari Minggu berikutnya, Pak Adit cepat-cepat bangun dan sarapan. Dengan berteriak dia berkata, “Bu Adit, cepat...! Mana rokok dan tuakku?! Kau gantung di mana lagi goloknya...”


CERPEN.Sabda, 26 November 2014_Sape/based on true story.


1 komentar:

  1. HE EHEH....keren brother, awal2nya sangat mengesan dan terharu.
    Tapi, bagian pragraf terakhir itu...lucu pisan hahahahhhhh...
    "Mana golok...mana golok...!!!

    BalasHapus