Minggu, 01 Maret 2015

Cerpen: LEPAS KENDALI

LEPAS KENDALI
“Bapa, saya mau melanjutkan sekolah. Saya mau jadi hamba Tuhan. Lagipula saya tidak kenal wanita itu. Pokoknya saya tidak setuju atas rencana ini” Demikianlah Pak Yohan menirukan cara dia menolak permintaan ayahnya untuk menikah pada saat berumur 20 tahun. Dia menghela napas panjang, kemudian berbicara sangat pelan seperti biasanya.
“Tapi, waktu itu... Ayah saya bersikeras. Dia mengatakan, apa yang merasuki otakmu sehingga tidak mau menuruti perkataan Ayah? Apakah Pendeta Lois sudah mencuci otakmu? Dengar... akulah yang membuat engkau dan bukan Pendeta Lois. Saya tanya sekarang sama kamu. Siapa ayahmu?”,
“Ayah”,
“Lalu siapa yang hendak kau dengarkan? Ayah sudah terlanjur memberikan belis kepada keluarga Pak Roni. Besok kamu harus datang ke sana dan bekerja membantu pekerjaan di sana. Dengar... kalau kamu menuruti perkataan ayahmu ini, salah seorang dari keturunanmu pasti bisa menjadi pendeta” Pak Yohan berhenti sebentar.

“Jadi, waktu itu Nak, Abdi... Bapak sangat sedih. Hanya bapak satu-satunya yang tamat SMP di kampung pada tahun 60-an itu. Dan saya punya cita-cita untuk menjadi seorang pendeta. Karena pada saat itu, nilai mata Pelajaran Agama Kristen-ku tinggi. Pendeta Lois juga sudah mengeluarkan surat rekomendasi agar saya bisa masuk sebuah seminari teologi waktu itu. Tetapi semuanya sia-sia begitu saja. Yah...” Pak Yohan yang sudah kepala enam ini menyandarkan kepalanya di tembok sambil memandang ke langit.

Abdi menatap wajah Pak Yohan lekat-lekat. Dari wajahnya tersirat keseriusan untuk mendengarkan cerita masa lalu Pak Yohan. “Terus... apakah bapak nekat melanjutkan sekolah ke seminari?”
Pak Yohan mengalihkan pandangannya ke samping tanpa memandang wajah Abdi. “Yang namanya orang tua harus dihormati, Nak. Demi menyenangkan orangtua saya menuruti keinginan Ayah. Esoknya saya mendatangi keluarga yang dimaksud Ayah. Waktu saya sampai saya memperkenalkan diri dan mengatakan maksud kedatangan saya bahwa saya disuruh oleh Ayah untuk membantu pekerjaan di sini”
“Oh... anaknya Pak Semi? Baik sudah. Neni, ini Yohan calon suamimu.” Kata Pak Roni.
“Datanglah seorang gadis dari kamar. Saya salaman sama dia. Setelah itu, kita makan bersama. Mereka potong kambing sebagai jamuannya. Kemudian ayahnya bilang, Nak Yohan menginap saja malam ini. Tapi saya masih tidak mengizinkan kalian untuk tidur berdua sampai semua ketentuan adat terpenuhi.”
“Tunggu dulu. Saat pertama kali melihat calon istri bapak, apa yang bapak rasakan?” Adit menyela dengan rasa ingin tahu bernada menggoda Pak Yohan.
“Ya, salaman saja. Bapak menjalani semua ini, kan hanya untuk menyenangkan ayah. Bapak hanya pasrah saja.”
Adit terkejut. Dia bertanya-tanya, apakah tidak ada cinta? Tetapi, belum sempat bertanya Pak Yohan melanjutkan ceritanya.
“Setelah hari itu, saya sering datang sekedar membantu pekerjaan di rumah Neni. Namun sejak seluruh belis yang diminta keluarga perempuan lunas, Neni resmi tinggal di rumah ayah saya. Dalam hati sesungguhnya tidak pernah terbersit keinginan untuk menikah apalagi cinta.”
“Bapak menikah tanpa cinta? Lalu, kok bisa mendapatkan anak?” tanya Adit.
“Saya tahu orangtuanya Neni pasti sudah menasihati Neni untuk tidak malu-malu terhadap Bapak. Jadi, waktu malam pertama, Bapak acuh tak acuh. Tapi, Neni memberanikan diri untuk tidur dalam selimut saya. Hari pertama, saya biasa-biasa saja. Hari kedua, ketiga lewat. Di hari keempat dia masih terus begitu, yah... yang namanya manusia siapa yang tahan. Akhirnya... ya sudah.” Senyum simpul sedikit menghiasi bibir Pak Yohan, begitu juga Abdi.  Tetapi kemudian Abdi terbelalak. “Bapak melakukan itu setelah janji nikah di gereja? Waktu itu keluarga Bapak sudah kristen kan?” Pak Yohan menatap Abdi dan kemudian berbicara santai, “Belum. Keluarga Bapak sudah kristen. Tetapi, kami baru pernikahan di gereja dua tahun kemudian ketika anak pertama kami sudah lahir.” Abdi menghela napas dalam-dalam kemudian terdiam sama seperti Pak Yohan.

Abdi adalah seorang mahasiswa sebuah seminari di Kota Malang yang sedang menjalani masa Praktik Pelayanan Lapangan (PPL). Sedangkan Pak Yohan adalah seorang pensiunan pegawai sebuah bandara di Sumba daerahnya sendiri. Pak Yohan sedang liburan di gereja yang dipimpin oleh anak sulungnya, tempat Abdi PPL. Pak Yohan berencana tinggal di gereja sekitar 5 hari saja. Namun, baik Abdi maupun Pak Yohan menggunakan waktu-waktu yang ada untuk saling berbagi cerita. Terutama Abdi yang juga ingin tahu banyak tentang daerah-daerah Kristen seperti Sumba.

Setelah beberapa saat lamanya, Abdi kembali membuka pembicaraan, “Itu semua akibat jodoh-menjodohkan. Tapi... bapak sendiri yang pilih istri kedua bapak kan?”,
Pak Yohan menatap Abdi dan menjawab, “Tidak juga. Dia sendiri yang datang ke Bapak.”,
“Maksudnya?” Abdi terus bertanya.
“Setelah istri saya yang pertama meninggal. Saya menitipkan keempat anak kami kepada para kerabat. Waktu itu bapak sudah menjadi majelis di gereja.” Pak Yohan berhenti sebentar seolah sedang mengumpulkan ingatan tentang istrinya yang kedua. “Di suatu hari Minggu, Bapak terlambat bangun dan terlambat pula datang ke gereja karena kecapekan setelah kerja lembur sehari sebelumnya. Bapak mau berangkat, eh... hujan gerimis turun. Tiba-tiba datanglah si Lily, istri saya yang kedua itu. Dia datang dengan alasan meminjam payung. Tapi bapak tidak punya payung. Akhirnya kami terpaksa menunggu hujan reda sambil mengobrol tentang banyak hal. Dalam obrolan kami sesekali saya menggodanya. Saya bilang, mengapa kamu tidak menikah sampai sekarang. Bukankah kamu ini sudah guru PNS, 32 tahun, juga cantik. Mengapa kamu tidak punya pacar?”,
“Ya, tidak ada yang mau toh Pak.” Jawabnya.
“Ternyata hujan tidak kunjung reda. Saya terus menggodanya hingga ke hal-hal yang pribadi. Saya tahu dia senang, tapi dia berujar
“eh... kamu itu sudah gilakah? Ngomong-ngomong kamu udah makan? Saya mulai lapar nih.”
“Saya belum makan dari tadi malam” jawabku.
“Ya, udah. Kalau begitu biar saya masak nasi untuk kita. Mana berasnya?”
“Itu di sudut sana.”

Abdi hanya terdiam mendengar semua penuturan Pak Yohan. Dalam hati dia merasa sesuatu yang tidak beres dengan diri Pak Yohan, namun dia segera mengusir pikiran itu untuk mendengar cerita Pak Yohan selanjutnya.
“Jadi, hari itu kami bercengkerama terus. Tapi, bapak terus-menerus menggodanya.
Lily hanya bilang, “eh... sudah gilakah?”
Bapak bilang, “saya ini sudah lama tidak mempunyai istri. Saya ini adalah pria yang memiliki kebutuhan tetapi selama ini tidak pernah tersalurkan.”
“Ah... sudah habiskan saja makanannya, katanya.”
Setelah kami selesai makan saya bilang, “Ya sudah sekarang kamu pulang saja. Saya mau istirahat.”
Tapi, dia bilang, “Ya sudah. saya mau istirahat saja di sini.” Dia masuk kamar saya kemudian berbaring di tempat tidurku. Saya juga masuk. Eh tiba-tiba, dia membuka bajunya dan melepas BH-nya.
“Ini yang kamu minta?” Katanya.
Saya bilang, “Bukan. Saya minta yang lainnya. Hahahaha... Ya, terjadi sudah”
“Sejak hari itu, saya sering datang ke rumahnya dan sering disuguhi hal itu. Kami baru menikah lima bulan kemudian secara gerejawi” Pak Yohan tersenyum senang menuturkan hal itu.

Tetapi, Abdi malah menunduk. Matanya berkaca-kaca. Dia marah besar dalam hati. Bagaimana mungkin seorang tidak mau belajar dari masa lalunya. Bagaimana mungkin seorang majelis gereja berbuat demikian tanpa rasa bersalah. Dia mengumpulkan keberanian yang didorong oleh kemarahan, tetapi yang terucap hanya kata lemah-lembut yang bertanya, “Apa Bapak tidak merasa bersalah dengan perbuatan Bapak tersebut?” Abdi menatap wajah Pak Yohan lekat-lekat seolah mencari kejujuran di sana.
Pak Yohan balik bertanya, “Kenapa merasa bersalah? Toh saya tidak meninggalkannya. Saya bertanggungjawab dan mengambilnya menjadi istri saya.”
“Tapi itu dosa besar Pak” kata Abdi bernada tegas tapi penuh kelembutan.
“Saya disebut berdosa jika saya tidak mengambilnya menjadi istri, Nak Abdi. Lagipula, saya ini majelis jemaat waktu itu.”
“Bukan begitu Pak. Status majelis jemaat tidak otomatis mengizinkan kita berbuat dosa. Kitab Suci kita mengajarkan bahwa hubungan seks itu hanya boleh dilakukan dalam pernikahan kudus. Semua hubungan seks di luar pernikahan adalah dosa.”
“Jadi, bagaimana?” Pak Yohan balik bertanya.
“Bapak harus mengakui dosa tersebut dan meminta pengampunan kepada Tuhan. Dosa seperti itu harus dibereskan”
Pak Yohan terdiam beberapa saat dan menghela napas panjang, kemudian berkata, “Ya, itu sudah saya lakukan”
“Oh, sudah. Baiklah Pak. Puji Tuhan kalau begitu. Semoga Tuhan memberkati keluarga Bapak.”
Pembicaraan terhenti sampai di situ. Pak Yohan menatap jam dan mengajak Abdi untuk istirahat.

Di pembaringan malam itu, Abdi tidak langsung terlelap. Hatinya berkecamuk dan dipenuhi banyak pertanyaan. Apakah ini yang menjadi jawaban atas pergumulannya selama ini tentang ke mana Tuhan hendak mengutusnya untuk melayani? Sebelum mengambil keputusan, dia sampai pada suatu kesimpulan bahwa di daerah Pak Yohan menikah tanpa cinta adalah sesuatu yang lumrah, kawin sebelum nikah adalah sesuatu yang biasa, tidak tabu untuk menjadikannya sebagai sebuah cerita kepada anak-anak karena semua ini telah menjadi budaya. Abdi merinding lagi mengingat hal itu sebelum dia menarik selimut dan berusaha menutup mata.

6 Januari 2015


Cerpen: NYARIS

NYARIS

“Anakku sudah besar. Sebentar lagi dia akan Praktik Pelayanan Lapangan, diwisuda dan menjadi hamba Tuhan yang melayani di gereja. Masa ayahnya ini tidak menjadi orang baik dan teladan bagi orang lain. Dia tentu akan malu dan tidak didengarkan oleh orang lain jika ayahnya sendiri belum menjadi orang baik-baik. Lagipula, kabar baik yang sering dia beritakan tentunya benar. Ah, saya ini ayah yang bodoh. Mengapa saya mengeraskan hati untuk tidak menerimanya. Minggu ini saya harus mencari Tuhan seperti anakku di gereja dan persekutuan doa dan mulai memperbaiki hidup saya ini.” Pak Adit terus membatin dalam perjalanannya pulang dari kebun sore itu. Sesekali dia mengusap keringat di dahinya dan juga matanya yang terus berkaca-kaca.
Beberapa minggu terakhir Pak Adit terus memikirkan kehidupannya dan juga anak perempuannya yang ada di kota Malang. Dulu dia tidak merestui kepergian anaknya tersebut mengingat jarak yang sangat jauh antara Nias dengan Kota Malang. Belum lagi ongkos keberangkatannya dan uang kuliahnya nanti. Namun, melihat tekad dan kegigihannya, Pak Adit mulai mendukungnya. Apalagi dengan melihat hasilnya sekarang ini. Dia sangat bangga dengan anak sulungnya ini karena sebentar lagi dia akan menamatkan kuliahnya di sekolah teologi. Anaknya ini juga sudah mulai memahami tentang Tuhan dan sering menceritakannya kepada ayahnya. Pak Adit tahu maksud baik anaknya yakni agar ayahnya juga bisa menerima Yesus dan memiliki kehidupan yang baik sama seperti dirinya. Sungguh semua itu membuat dada Pak Adit menjadi sesak dan hanya terungkap dengan linangan air mata karena dia sangat merindukannya dan ingin cepat-cepat bertemu dengannya.
Setiba di rumah sayup-sayup terdengar Nokia Tune dari arah kamar Pak Adit. Pak Adit menurunkan pisang dari bahunya dan meletakkannya di teras di depan rumah. Dia segera mempercepat langkahnya dan buru-buru mengangkatnya.
“Hallo, Ya’ahowu...”
“Hallo, Pa.” Terdengar suara dari seberang.
“Oh, Febi. Apa kabar Nak?”
“Puji Tuhan, saya baik-baik dan sehat Pak. Bagaimana dengan kalian? Bapak pasti dari kebun ya? Bawa apa?”
“Kami juga baik-baik, Nak. Hanya Mama-mu dan saya sering sakit batuk. Maklum kami sudah tua lho, Nak. Hari ini bapak bawa pisang dari kebun. Seandainya kamu ada di sini kamu mungkin bisa membakarnya untuk adik-adikmu” Suara Pak Adit mulai bergetar. Dia menelan ludah untuk menahan kecamuk perasaannya.
“Kan ada Tina, Pak” Febi menyebut adiknya yang nomor dua dari delapan bersaudara. “Oh. Iya. Besok saya akan ujian skripsi, Pa. Mohon dukungan doa, ya.”
“Iya, Nak. Kamu pasti diberkati oleh Tuhan. Bapak sudah mulai berdoa, semoga kamu cepat berhasil dan kelak jadi anak yang berguna. Apalagi tanggungan Bapak masih banyak. Adik-adikmu juga sudah mulai besar. Ingat janjimu sama Bapak, kelak kalau sudah berhasil, kamu bertanggung jawab sama adik-adikmu”. Pak Adit mengatupkan bibirnya, tetapi air matanya sudah jatuh tak tertahankan.
“Iyalah, Pa. Papa kenapa?”
“Oh...tidak, Nak. Sukses untuk ujianmu, ya. Ada lagi yang ingin kamu sampaikan?”
“Itu aja sih Pa. Salam buat mama dan adik-adikku, ya. Tuhan memberkati. Ya’ahowu...”
“Ya’ahowu...” Pak Adit menaruh handphone kembali pada tempatnya dan berteriak, “Arif, angkat pisang yang di teras itu. Bilang sama Tina, biar dibakar satu atau dua untuk Papa dulu. Papa sudah lapar...” Arif, anak Pak Adit yang ketiga datang mengangkat pisang itu dan berlalu menuju dapur.
Ketika tiba hari Minggu, Pak Adit cepat-cepat bangun. Dia segera mandi, cukuran, dan sarapan. Bu Adit heran melihat perubahan suaminya tetapi dia tetap menyiapkan segala sesuatunya seperti biasa.
“Pak, rokok dan tuakmu ada di atas meja. Goloknya sudah saya sarungkan juga. Ada di gantungan.”
Pak Adit tersenyum, “Hari ini bapak tidak ke kebun, Bu. Kita semua datang ke gereja, ya.”
 “Ada apa, Pak” Bu Adit bertanya semakin heran dan menyelidik.
“Mama tidak senang saya ke gereja? Sebentar lagi saya ini jadi ayah dari seorang hamba Tuhan lho. Kita harus menyesuaikan dong...” Jawab Pak Adit datar.
Seluruh anggota keluarga terheran-heran dengan perubahan aktivitas tersebut. Tetapi mereka juga senang. Sudah lama sekali mereka merindukan agar ayah mereka ini mau datang ke gereja sama seperti orang lain. Tetapi selama ini dia selalu berdalih dan sibuk dengan kebun-kebunnya.
Hari-hari setelah hari Minggu itu menjadi hari yang bahagia bagi Pak Adit dan anggota keluarganya. Pak Adit membuang segala rasa malu dan ragu-ragunya untuk ikut persekutuan doa, ibadah di gereja dan ikut kegiatan-kegiatan gerejawi lainnya. Kelihatan sekali bahwa Pak Adit ingin memiliki hidup baru demi anaknya dan harapan-harapannya tentang dia. Anggota keluarga lain juga merasakan perubahan itu. Pak Adit yang dahulu keras kepada Bu Adit dan anak-anaknya sudah lebih lemah lembut. Kebiasaannya merokok dan minum tuak juga ditinggalkannya meskipun dengan usaha yang berat. Kehidupannya semakin bersemangat ketika dia mendengar bahwa Febi lulus ujian skripsi dan akan segera diutus untuk Praktik Pelayanan Lapangan. Dia sering menceritakan kepada orang lain bagaimana kasih Tuhan dalam keluarganya terlebih-lebih dalam kehidupan anaknya Febi.
Beberapa minggu berlalu, hingga di suatu sore, kerinduan Pak Adit kepada anaknya Febi tak terbendung lagi. Dia sangat ingin mendengar celoteh anaknya tersebut. Apalagi setelah beberapa minggu terakhir Febi tidak pernah menghubunginya lagi. Dia menelpon beberapa kali, tetapi yang terdengar hanya “Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan”. Pak Adit menjadi penasaran. Tidak biasanya Febi menonaktifkan Hp-nya sore-sore begitu karena mereka biasa ngobrol melalui Hp di sore hari. Tiba-tiba Hp-nya berbunyi. Pak Adit segera mengangkatnya.
“Hallo, Ya’ahowu...”
“Ya’ahowu. Apakah ini dengan Pak Adit?” suara laki-laki terdengar dari seberang.
“Iya, saya sendiri. Ini dengan siapa?” jawab Pak Adit sambil mengernyitkan dahi.
“Saya Pak Arman. Pendeta yang merekomendasikan Febi untuk masuk STT di Malang, Pak”
“Oh. Ada apa Pak?” jawab Pak Adit penasaran
“Begini, Pak. Kita mendapatkan kabar buruk ...”
Pak Arman terus berbicara dan  Pak Adit mendengarkannya dengan seksama. Lama-lama tubuh Pak Adit terlihat gemetar, dia memegang dadanya, kemudian menyandarkan diri di dinding rumahnya. Matanya berkunang-kunang dan beberapa bulir bening keluar dari matanya sambil mengertakkan giginya. Hingga HP-nya berbunyi “tuuuut....tut....tut...”, kekuatannya seolah hilang dan dia rubuh. Arif yang melihatnya jatuh langsung berteriak kepada anggota keluarga lain, lalu mereka mengangkat tubuhnya ke atas balai-balai dekat situ.
Sementara itu, di STT tempat Febi kuliah sedang berlangsung acara pengutusan anak-anak yang akan berangkat PPL. Tetapi, Febi tidak ada di antara anak-anak yang diutus tersebut. Di akhir acara, dosen bidang kemahasiswaan memberi pengumuman.
“Kita semua, mahasiswa dan para dosen sangat sedih pada hari ini karena salah satu dari kalian tidak bisa ikut dalam pengutusan ini. Saudari kekasih kalian Febi terbukti telah melanggar hukum ketujuh dan dinyatakan gagal dalam semua proses perkuliahan di STT ini. ...”
Hari Minggu berikutnya, Pak Adit cepat-cepat bangun dan sarapan. Dengan berteriak dia berkata, “Bu Adit, cepat...! Mana rokok dan tuakku?! Kau gantung di mana lagi goloknya...”


CERPEN.Sabda, 26 November 2014_Sape/based on true story.