TELAAH DAN REFLEKSI KRITIS
TERHADAP MAKANAN HARAM DALAM PERJANJIAN LAMA
BAB
I
PENDAHULUAN
Istilah
makanan haram adalah sesuatu yang biasa bagi umat beragama, tidak terkecuali
bagi umat kristiani. Akan tetapi, setiap agama memahami makanan haram secara
berbeda bahkan di antara banyak aliran kekristenan sendiri. Pada umumnya, agama
atau aliran kekristenan tersebut mengatur apa saja yang boleh dan tidak boleh
dimakan oleh penganut keyakinan tersebut. Ada makanan yang diharamkan oleh
suatu agama atau aliran kekristenan tetapi halal bagi agama atau aliran
kekristenan lain. Persoalannya adalah terjadi saling menghakimi dan menghina
antar penganut keyakinan tersebut sehingga timbul kerenggangan hubungan. Kerukunan
dan persekutuan yang bisa terjalin erat karena makanan menjadi tidak tercipta.
Tentu saja, hal ini menjadi polemik di antara warga jemaat dan mengakibatkan
perbincangan tentang makanan haram menjadi hangat dan perlu mendapatkan
jawaban.
Kekristenan
sendiri memiliki daftar makanan haram dan tidak haram berdasarkan Alkitab.
Tetapi pertanyaan besarnya adalah masih relevankah peraturan tentang makanan
haram dalam kekristenan zaman sekarang ini? Pertanyaan ini menuntun kepada
pertanyaan lain yang menjadi sangat penting yaitu apa standar baku untuk
menentukan bahwa yang satu haram dan yang lain tidak? Siapa yang menetapkan
standar tersebut? Lalu, mengapa ada makanan (termasuk binatang) yang diharamkan
padahal semua makanan ini berasal dari alam yang diciptakan oleh Allah.
Bukankah segala ciptaan Allah sungguh amat baik? (Kej. 1:31).
Penganut
keyakinan lain, yang pada umumnya masih menerapkan peraturan ini, pasti punya
jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan di atas. Tetapi, orang Kristen juga
memiliki jawaban berdasarkan Alkitab. Hal inilah yang akan dibahas penulis di
dalam makalah ini. Penulis akan meneliti apa kata Alkitab tentang makanan haram
dilihat dari sudut pandang Perjanjian Lama yang difokuskan di Imamat 11.
Pembahasan akan diawali dengan definisi makanan haram di BAB II bagian A.
Kemudian makanan haram dalam Perjanjian Lama di BAB II bagian B. Telaah
terhadap makanan haram dalam Perjanjian Lama, termasuk oleh para tokoh akan
disampaikan di BAB II bagian C. Terakhir, refleksi atas peraturan tentang
makanan haram dalam perjanjian Lama yang diharapkan menjadi pedoman bagi orang
kristen dalam menyikapi makanan haram di BAB III bagian Penutup.
BAB
II
TELAAH
DAN REFLEKSI KRITIS
TERHADAP
MAKANAN HARAM DALAM PERJANJIAN LAMA
A.
DEFINISI
MAKANAN HARAM
Menurut
KBBI, haram berarti terlarang, tidak halal, suci, terpelihara, terlindung,
terlarang oleh undang-undang, tidak sah. Sementara menurut Kamus Thesaurus
haram berarti gelap, ilegal, liar, pantang, sumbang, tabu, terlarang. Berikut
ini adalah istilah-istilah haram dalam Kamus Global, yakni:
·
dirty ks. 1
kotor, dekil. 2 kotor, cabul. 3 busuk, serong. 4 tidak murni
·
illegal ks. yang
merupakan pelanggaran. 2 gelap, tak sah. 3 liar (occupation).
·
illegitimacy kb. sifat
melanggar hukum / undang-undang, sifat tidak sah / sejati, kepalsuan.
·
illegitimate ks.
haram.
·
illicit ks. gelap,
haram.
·
immoral ks. tidak
sopan, tunasusila, jahat, asusila.
·
unlawful ks. tak
sah.[1]
Sedangkan bahasa Ibrani untuk ‘haram’ memakai istilah ṭâmê' (taw-may') yang berarti kecurangan atau pelanggaran
peraturan agamawi; cemar, buruk, atau kotor (Im. 11:4 dst.). Sementara bahasa
Yunani memakai istilah koinos (koy-nos') yang berarti ‘berhubungan dengan hukum’, kotor, tidak senonoh, tidak
kudus dan cemar; dan akathartos (ak-ath'-ar-tos) yang berarti tidak murni, kotor, kejam,
jahat dan pelanggaran (Kis. 10:14-15).
Dari
beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa makanan haram adalah makanan
yang dilarang untuk dimakan oleh sistem hukum tertentu yang mana jika orang
memakannya dianggap sebagai pelanggaran atau kejahatan dan mendapatkan hukuman
atau akibat tertentu.
B.
MAKANAN
HARAM DALAM PERJANJIAN LAMA
Berikut adalah daftar binatang yang
diharamkan untuk dimakan dalam Perjanjian Lama berdasarkan Imamat 11; 17:14 dan
Ulangan 14:3-21, yakni:
·
segala binatang yang tidak bersirip
dan tidak bersisik di dalam air (Im. 11:11-12)
·
segala binatang yang merayap dan
bersayap dan berjalan dengan keempat kakinya, kecuali yang mempunyai
paha di sebelah atas kakinya untuk melompat di atas tanah (11:20-21),
yaitu belalang-belalang menurut jenisnya, yaitu belalang-belalang
gambar menurut jenisnya, belalang-belalang kunyit menurut jenisnya, dan
belalang-belalang padi menurut jenisnya.
·
segala binatang yang berkuku belah,
tetapi tidak bersela panjang, dan yang tidak memamah
biak
·
segala yang berjalan dengan telapak
kakinya di antara segala binatang yang berjalan dengan keempat kakinya
·
segala binatang yang merayap dan
berkeriapan di atas bumi
·
segala yang merayap dengan perutnya
dan segala yang berjalan dengan keempat kakinya, atau segala yang berkaki
banyak, semua yang termasuk binatang yang merayap dan berkeriapan di atas bumi
·
darah (Im. 17:14)
- dimakan (Im. 11:8)
- bangkainya disentuh - yang menyentuh akan menjadi najis sampai matahari terbenam
- bangkainya dibawa - yang membawa harus mencuci bajunya dan menjadi
najis sampai matahari terbenam
- bangkainya jatuh ke atas apapun, perkakas kayu, pakaian, kulit,
karung, atau barang apapun (11:32) - barang tersebut harus dimasukkan ke
dalam air dan menjadi najis sampai matahari terbenam. Setelah itu barang
tersebut tahir lagi.
- bangkainya jatuh ke dalam belanga tanah (pot) - segala sesuatu di
dalamnya menjadi najis dan belanga itu harus dipecahkan. Makanan jika
terkena air dari belanga tersebut menjadi najis, demikian pula minuman
yang boleh diminum dalam belanga tersebut.
- bangkainya jatuh ke atas pembakaran roti atau anglo - benda-benda pembuat makanan tersebut harus diremukkan.
- bangkainya jatuh ke atas benih yang telah dibubuhi air - benih
tersebut menjadi najis.
C.
TELAAH
KRITIS TERHADAP MAKANAN HARAM DALAM PERJANJIAN LAMA
Awalnya, TUHAN Allah
menciptakan segala sesuatu – termasuk segala jenis makanan dan
binatang-binatang – dan “semuanya itu baik” (Kej. 1:21,25). Pembedaan binatang-binatang
yang haram dan halal mulai disebut sejak zaman nabi Nuh. Kejadian 7:2,8 berbunyi: “Dari segala binatang yang tidak haram haruslah kauambil tujuh pasang,
jantan dan betinanya, tetapi dari binatang yang haram satu pasang, jantan dan
betinanya; ... Dari binatang yang tidak haram dan yang haram, dari
burung-burung dan dari segala yang merayap di muka bumi”. Tetapi di masa
setelah air bah binatang boleh dimakan dan tidak ada yang dikecualikan; dengan
kata lain tidak ada yang diharamkan untuk dimakan (Kejadian 9:3 “Segala yang bergerak, yang hidup, akan
menjadi makananmu. Aku telah memberikan semuanya itu kepadamu seperti juga
tumbuh-tumbuhan hijau”).
Hal yang
menarik adalah pada awalnya semua binatang baik adanya, lalu beberapa binatang
disebut haram namun tidak diharamkan untuk dimakan, kemudian menjadi makanan
haram di zaman Musa? Semua ahli setuju bahwa TUHAN Allah sendirilah yang
menetapkan peraturan tersebut untuk dilakukan oleh umat-Nya (Im. 11:1; 43-45).
Akan tetapi, telah tentang mengapa makanan-makanan tersebut diharamkan menghasilkan
penjelasan yang beragam. Beberapa penjelasan dari para ahli adalah sebagai
berikut:
1.
Ada yang mengatakan
bahwa pembagian ke dalam yang haram dan yang halal itu diberikan kepada Israel
untuk menguji ketaatan mereka kepada Allah. Supaya mereka belajar
bahwa Allah berhak melarang atau memerintah apapun, dan supaya mereka belajar
taat, tak peduli apapun alasan Allah untuk melarang atau memerintah sesuatu.
Binatang-binatang yang pada jaman Nuh diizinkan untuk dimakan, kemudian
dilarang pada zaman Musa karena Tuhan memang menghendaki demikian. Ini adalah
sesuatu yang baik untuk menguji ketaatan bangsa Israel dalam hal ini, supaya
mereka sadar bahwa mereka ada di bawah otoritas Allah. Matthew Henry:
After the flood,
when God entered into covenant with Noah and his sons, he allowed them to eat
flesh (Gen. 9:13), whereas before they were confined to the productions of the
earth. But the liberty allowed to the sons of Noah is here limited to the sons
of Israel. They might eat flesh, but not all kinds of flesh; some they must
look upon as unclean and forbidden to them, others as clean and allowed them.
The law in this matter is both very particular and very strict. But
what reason can be given for this law? Why may not God’s people have as free a
use of all the creatures as other people? 1. It is reason enough that
God would have it so: his will, as it is law sufficient, so it is reason
sufficient; for his will is his wisdom. He saw good thus to try and
exercise the obedience of his people, not only in the solemnities of his altar,
but in matters of daily occurrence at their own table, that they might remember
they were under authority. Thus God had tried the obedience of man in
innocency, by forbidding him to eat of one particular tree[2]
Alasan
ini bisa diterima karena memang Allah mempunyai hak untuk melarang atau
mengizinkan semua peraturan apapun. Akan tetapi, alasan ini terkesan
sewenang-wenang dan ini bukan alasan utama mengapa bangsa Israel dilarang
memakan binatang-binatang itu.
2. Binatang-binatang
yang disebutkan menjadi haram bagi umat Israel karena berperan penting dalam
korban-korban serta ibadah kepada dewa-dewa kafir, bahkan dianggap kudus oleh
penganut dewa-dewa itu. Misalnya, orang-orang Arab pada zaman kuno
mempersembahkan unta dalam ritus-ritus mereka dan orang-orang Babel, Siria
serta Kanaan mengorbankan babi. Akan tetapi, persoalannya adalah tidak ada
bukti bahwa semua makhluk yang didaftarkan dalam Imamat 11 ini berperan
demikian di antara bangsa-bangsa di sekitar Israel, misalnya makhluk-makhluk
kecil yang menurut Im. 11:10 berkeriapan dalam air. Makhluk-makhluk itu pasti
tidak dipakai dalam ritus seperti itu.
3. Beberapa
makhluk menjadi haram karena kebiasaan yang tidak enak atau karena
penyakit-penyakit yang menular yang mereka sebarkan. Dengan kata lain,
perbedaan-perbedaan itu dibuat karena alasan-alasan higienis, karena
binatang-binatang dan burung-burung yang haram lebih sering membawa penyakit.
Binatang-binatang haram menyebabkan berbagai infeksi karena biasa memakan daging
yang cepat busuk dalam iklim yang sangat panas. Babi membawa beberapa organisme
parasit yang dapat menyebabkan infeksi serius pada manusia (penyakit cacing
pita babi). Sebagian burung yang disebut haram memakan bangkai dan dapat
menyebabkan infeksi, dan ikan yang tak bersisik sering memakan kotoran dan
mengandung banyak bakteri berbahaya. Dengan menaati hukum-hukum ini, orang
Yahudi akan lebih bebas dari berbagai penyakit dan akan menikmati kehidupan
yang lebih sehat sehingga dapat berkembang dengan lebih baik. Akan tetapi,
alasan-alasan ini itu tidak berlaku untuk semua jenis. Lagipula, jika kesehatan
adalah alasan utama untuk menyatakan semua makanan halal atau haram, mengapa
Tuhan Yesus menyatakan semua makanan halal dalam Perjanjian Baru (Mrk. 7:19)?
Apakah hukum-hukum kesehatan tak perlu pada abad pertama Masehi?
4.
Semua burung yang
disebut adalah burung buas yang menumpahkan dan makan darah mangsanya. Sebab
itu burung-burung itu dianggap haram oleh orang-orang Israel. Dengan demikian Tuhan mendidik bangsa Israel supaya
membenci apapun yang barbar dan kejam. Matthew Henry mengatakan: “
Some
are birds of prey, as the eagle, vulture, etc., and God would have his people
to abhor every thing that is barbarous and cruel, and not to live by blood and
rapine. Doves that are preyed upon were fit to be food for man and offerings to
God; but kites and hawks that prey upon them must be looked upon as an
abomination to God and man; for the condition of those that are persecuted for
righteousness’ sake appears to an eye of faith every way better than that of
their persecutors”[3]
Akan tetapi,
persoalannya masih sama, apakah didikan Tuhan ini sudah tidak berlaku lagi di
masa Perjanjian Baru?
5.
Menurut orang-orang
Israel, setiap makhluk seharusnya mempunyai sifat-sifat yang sesuai dengan
jenisnya, dan seekor makhluk dianggap haram jika tidak mempunyai sifat-sifat
itu atau jika mempunyai sifat-sifat berbeda. Misalnya, ikan-ikan seharusnya
bersirip dan bersisik, sebab itu ikan-ikan dianggap haram jika kekurangan
sifat-sifat demikian atau jika mempunyai sifat-sifat yang biasa bagi binatang
di atas tanah. Antropolog, Mary Douglas, mendukung penjelasan ini dengan
mengatakan bahwa binatang, burung, dan ikan yang halal ialah yang menyesuaikan
diri sepenuhnya dengan golongannya.[4]
Binatang yang mempunyai kuku terbelah dan yang memamah biak adalah halal, dan
binatang yang tidak memiliki salah satu ciri ‘normal’ ini disebut haram.
Serangga-serangga yang terbang, yang berjalan dengan keempat kakinya
memperlihatkan kebingungan di antara dunia burung dan dunia serangga dan karena
itu bukan merupakan anggota yang murni dari golongannya. Akan tetapi pendekatan
“kenormalan” ini bertentangan dengan kisah Kejadian 1, yang menyebutkan bahwa
semua ciptaan Allah itu “baik” (Kej. 1:25) dan karena itu “normal”.
6.
Ahli-ahli Perjanjian
Lama sudah mengemukakan beberapa penjelasan tentang makanan haram dan pastilah
terdapat dalam setiap penjelasan sesuatu yang benar, tetapi tidak ada alasan
yang berlaku untuk segala binatang. Dengan kata lain, selalu ada kekurangan
dalam setiap penjelasan yang diajukan. Namun demikian, alasan yang paling
mendekati untuk makanan haram dalam Perjanjian Lama adalah untuk
membedakan dan memisahkan orang Israel dari bangsa-bangsa lain. Ini
merupakan alasan utama mengapa bangsa Israel dilarang untuk memakan
binatang-binatang tersebut. Alasan ini sebenarnya sudah dikemukakan dalam Imamat
11:44-45: “Sebab Akulah TUHAN,
Allahmu, maka haruslah kamu menguduskan dirimu dan haruslah kamu kudus, sebab
Aku ini kudus, dan janganlah kamu menajiskan dirimu dengan setiap binatang yang
mengeriap dan merayap di atas bumi. Sebab Akulah TUHAN yang telah menuntun kamu
keluar dari tanah Mesir, supaya menjadi Allahmu; jadilah kudus, sebab Aku ini
kudus”. Hal ini sesuai dengan arti dari kata ‘kudus’ yang adalah ‘berbeda
dengan’ atau ‘terpisah dari’. Dengan adanya larangan makan binatang-binatang
ini, maka sukar bagi bangsa Israel untuk bisa berbaur dengan bangsa-bangsa
lain, yang tidak dilarang makan binatang-binatang tersebut. Ini bukan hanya
menyukarkan bangsa Israel untuk berbaur dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga
menyukarkan mereka untuk menyebar ke negara-negara lain, karena di sana semua
orang memakan binatang-binatang yang bagi mereka dilarang untuk dimakan.
Penjelasan
di atas sangat masuk akal untuk menjawab mengapa larangan ini dihapuskan di
zaman Perjanjian Baru. Sebab, kalau kita melihat alasan utama
dalam pelarangan makan binatang-binatang itu, yaitu untuk memisahkan bangsa
Israel dari bangsa-bangsa lain, maka jelas bahwa dalam jaman Perjanjian Baru
hal itu sudah tidak dibutuhkan, karena batasan/tembok pemisah antara bangsa
Israel dan bangsa-bangsa lain sudah dihancurkan dalam Kristus (Ef. 2:11-22;
1Kor. 12:13; Gal. 3:28; Kol. 3:11). Peraturan tentang makanan haram sama dengan
sunat yakni sama-sama dihapuskan agar hal itu tidak menghalangi bangsa lain
untuk menjadi umat yang percaya kepada Kristus.
BAB
III
PENUTUP
Sekarang ini banyak masalah yang
timbul karena makanan. Peraturan dari agama lain seperti Muslim dan Buddha,
juga aliran lain dalam kekristenan seperti Gereja Advent Hari Ketujuh yang
mengharamkan beberapa jenis makanan menimbulkan polemik di antara warga jemaat.
Banyak di antaranya saling menghina sehingga kerukunan tidak terjalin dengan
baik. Namun, bukan demikian dengan orang Kristen yang memahami firman Allah.
Melalui pembahasan di atas terlihat bahwa sesungguhnya Tuhan mempunyai maksud
yang baik untuk setiap umat-Nya. Dia melarang Israel karena tidak mau umat-Nya
sama seperti bangsa-bangsa lain dan menjadi tersandung dalam penyembahan
berhala. Sebaliknya, di zaman Perjanjian Baru, umat kristiani harus menjadi
terbuka bagi bangsa-bangsa lain, makanan tidak boleh menjadi penghalang bagi
mereka untuk menjadi warga Kerajaan Allah. Oleh karena itu warga jemaat
sekarang ini tidak boleh menghina agama dan aliran lain yang masih
memberlakukan peraturan tersebut, sebaliknya jangan sampai segala kebiasaan
warga jemaat juga menjadi batu sandungan sehingga menjadi penghalang bagi orang
lain untuk menjadi warga Kerajaan Allah (Roma 14:21).
Namun pada prinsipnya, dalam
agama Kristen larangan ini tidak diberlakukan karena seluruh
hukum Taurat sudah digenapi dalam kematian dan kebangkitan Yesus sehingga
orang yang percaya kepadaYesus Kristus menjadi “manusia
baru” hasil “ciptaan baru” (2Kor. 5:17). Yesus Kristus sendiri
mengajarkan bahwa yang menajiskan manusia bukan makanan melainkan apa yang
keluar dari hati:
Maka jawab-Nya: "Apakah kamu juga tidak dapat
memahaminya? Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu dari luar yang masuk ke
dalam seseorang tidak dapat menajiskannya, karena bukan masuk ke dalam hati
tetapi ke dalam perutnya, lalu dibuang di jamban?" Dengan demikian
Ia menyatakan semua makanan halal. Kata-Nya lagi: "Apa yang
keluar dari seseorang, itulah yang menajiskannya, sebab dari dalam, dari hati
orang, timbul segala pikiran jahat, percabulan, pencurian, pembunuhan,
perzinahan, keserakahan, kejahatan, kelicikan, hawa nafsu, iri hati, hujat,
kesombongan, kebebalan. Semua hal-hal jahat ini timbul dari dalam dan
menajiskan orang” (Mrk. 7:18-23).
DAFTAR
PUSTAKA
Wolf, Herbert. Pengenalan
Pentateukh. Malang: Gandum Mas. 1998
Paterson, Robert M. Kitab Imamat.
__
Aplikasi e-Sword
Aplikasi KBBI Offline
http://alkitab.sabda.org/lexicon.php?word=Haram
(15 Nov. 2015)
Pdt. Budi Asali,
golgotha_ministry
Tidak ada komentar:
Posting Komentar